Minggu, 25 Mei 2008

Yang Perlu Hanya Bersyukur

Seharusnya saat ini aku gembira karena apa yang kami siapkan selama hampir 3 tahun ini telah dapat kami tempati yaitu sebuah rumah yang cukup nyaman menurud ukuran kami yang kami ciptakan layaknya sebuah hotel, setidaknya itulah komentar suamiku ketika dia bangun pagi ini dan hendak sarapan di rumah lama yang letaknya bersebelahan.
Memang bila dipikir untuk kami bertiga rumah lama kami sudah lebih dari cukup, namun dalam sebuah kebetulan akhirnya kami memiliki rumah kedua, tanpa terget kami telah membangun rumah tersebut layaknya tabungan, membuatnya setahap demi setahap hingga memakan waktu 4 tahun sejak masih berbentuk tanah kosong.
Buatku membangun rumah tersebut adalah latihan ketahanan, kesabaran, dan daya juang untuk mewujudkan apa yang diinginkan meskipun tanpa target.
Ada saat-saat dimana ketika kami membangun kami menguras seluruh tabungan kami dalam bulan-bulan tertentu karena pembangunan yang kritis dan tidak dapat dipenggal dan saat itulah aku belajar bagaimana caranya mengatur uang yang benar-benar pas-pasan pasalnya karena kami tidak mau berhutang jadi yach terjadilah kondisi itu, tapi kami jadi belajar banyak.
Tekad, Fokus dan kesehatian kami telah menghasilkan sesuatu.
Sebenarnya kami bukanlah tipe orang penikmat hidup atau mencintai kemewahan, malah sebaliknya kami adalah orang yang mencintai kesederhanaan dan selalu apa adanya, tetapi justru karena hal itulah akhirnya kami memiliki sesuatu yang lebih, yaitu rumah kedua, dan memang rumah pertamapun sudah selayaknya memerlukan renovasi karena umur bangunan.
Masih kuingat ketika pertama menempati kamar di rumah baru yang ukurannya 2x lebih besar dari kamar tidur kami yang lama. Saat itu aku merasa kecil di tempat yang besar, aneh, padahal kamar itu hanya sebesar kamar dirumah orang tuaku ketika aku masih sekolah dulu.
Akhirnya aku mengerti, ketika seseorang sudah terbiasa dalam sebuah kondisi dan berpindah kepada kondisi yang lain ada sesuatu yang terasa, dalam kasusku aku berpindah ke tempat yang lebih nyaman namun aku berfikir, bagaimana bila seseorang harus berpindah ke tempat atau kondisi yang tidak nyaman? Masih bisakah bersyukur?
Aku bersyukur karena kondisi hatiku tidak mengalami banyak perubahan, aku bersyukur dengan semua yang dapat aku nikmati namun aku tetap dapat menikmati kondisi yang biasa, malam aku ada di tempat yang nyaman tetapi pagi hingga sore hari aku lebih memilih di rumah yang lama, dengan begitu aku tetap dapat mensyukuri kedua-duanya.
Rumah pertama adalah rumah awal perjuangan kami dan rumah kedua adalah rumah hadiah kedisiplinan kami, aku dan suami tetap menginjak bumi alias tidak melayang dan lupa diri malah anehnya suamiku merasa ada yang hilang ketika kami pindah tidur ke rumah baru, "kesederhanaan", dan dia merasa sungkan untuk memperlihatkan keberhasilan yang telah diraih. "Ditengah kondisi ekonomi saat ini apa pantas memproklamirkan keberhasilan" katanya.
Berbeda dengan pandanganku yang mengatakan "ya, kenapa tidak, itu artinya ada sesuatu yang berbeda yang kita miliki, biarkan orang tahu dan belajar dari apa yang kita jalani dan lakukan, yang penting sikap kita tidak berubah dan jadilah lebih berempati pada sesama, lagipula ada banyak orang yang lebih berhasil dan punya lebih banyak, hanya saja memang, untuk lingkungan disekeliling kita, kita termasuk yang cukup beruntung".
Ada banyak hal yang kupelajari akhir-akhir ini, di atas langit ada langit, orang yang dibawah akan melihat kami lebih atau bahkan sangat beruntung tapi orang yang diatas akan melihat kami sangat biasa dan tidak ada apa-apanya. Bila dibandingkan dengan rumah-rumah pelanggan kantornya yang pernah dimasuki suamiku, rumah kami tidak ada apa-apanya sama sekali bahkan ada diantara mereka yang kamar mandinya saja luasnya sebesar rumah yang kami tempati, dan dalam pekerjaannya melihat rumah-rumah seperti itu sudah biasa namun memang berbeda bila memilikinya sendiri.
Hal lain yang dapat kurasakan adalah dengan bertambahnya apa yang kita miliki bertambah pula bebannya dan juga bertambah pula tanggung jawab yang dipikul. Memang demikianlah adanya, artinya untuk memiliki sesuatu kita harus siap terlebih dahulu, bila tidak akan menjadi beban buat kita bukan rasa syukur. Bila kita siap, segalanya akan ditambahkan, ini sama seperti seorang ayah yang memberikan sesuatu kepada anaknya.
Yah, yang jelas saat ini ada rasa syukur dalam diriku tetapi sama sekali tidak ada rasa bangga bahwa aku mampu, apalagi kesombongan, tidak ada rasa sama sekali untuk yang satu itu.

Tidak ada komentar: